Metode Bimbingan Kelompok dalam Bimbingan dan Konseling: EXPERIENTIAL LEARNING (EL)

 

METODE BIMBINGAN KELOMPOK EXPERIENTIAL LEARNING (EL)

 

Latar Belakang

Belajar merupakan istilah kunci yang paling vital dalam usaha pendidikan, sehingga tanpa belajar sesungguhnya tidak pernah ada pendidikan. Sebagai suatu proses, belajar hampir selalu mendapat tempat yang luas dalam berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan pendidikan. Disitulah letak pentingnya manusia sebagai makhluk yang berpikir untuk terus belajar, baik itu belajar secara kelembagaan formal maupun belajar dari pengalaman yang pernah dan akan dialami.

Tujuan dari belajar bukan semata-mata berorientasi pada penguasaan materi dengan menghapal fakta-fakta yang tersaji dalam bentuk informai atau materi pelajaran. Lebih jauh daripada itu, orientasi sesungguhnya dari proses belajar adalah memberikan pengalaman untuk jangka panjang. Dengan konsep ini, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung secara alamiah dalam bentuk kagiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan tansfer pengetahuan dari guru ke siswa.

Proses pembelajaran yang dapat menciptakan suatu proses belajar yang dapat mengeksplorasi wawasan pengetahuan siswa dan dapat mengembangkan makna sehingga akan memberikan kesan yang mendalam terhadap apa yang telah dipelajari adalah model Experiential Learning. Oleh karena itu, penulis akan memaparkan informasi mengenai model pembelajaran Experiential Learning.

 

Konsep Teknik Experiential Learning

    Pembelajaran dari pengalaman merupakan suatu proses yang menganggap  bahwa pengalaman adalah alat untuk memperoleh suatu pengetahuan. Proses ini meliputi pengaturan tujuan, pemikiran, perencanaan, percobaan, tanggapan, penelitian, dan peninjauan. Dengan melibatkan aktivitas, siswa menemukan makna dengan cara mereka sendiri, menggabungkan teori, emosi, dan proses kognitif dari pembelajaran.

    Teori experiential learning merupakan model holistik dan multilinier khususnya untuk pengembangan orang dewasa, yang konsisten dengan apa yang diketahui tentang bagaimana orang belajar, tumbuh dan berkembang.

Teori ini lebih menekankan pada pengalaman yang memiliki peranan penting dalam proses pembelajaran sehingga membedakan dengan model lainnya. Experiential learning didefinisikan sebagai "the process whereby knowledge is created through the transformation of experience. Knowledge results from the combination of grasping and transforming experience" (Kolb, 1984). Experiential learning menekankan pada kapasitas manusia untuk merekonstruksi pengalaman dan kemudian memaknainya (Savin, 2004:31). Dewey percaya bahwa dalam pendidikan adalah proses berkelanjutan untuk merekonstruksi dan menumbuhkan pengalaman, dimana peran pendidik adalah untuk mengelola aktivitas pembelajaran yang dibangun dari pengalaman masa lalu warga belajar dan menghubungkannya terhadap pengalaman baru.

 

Dasar Teori Teknik Experiential Learning

Experiental learning theory (ELT), yang kemudian menjadi dasar model pembelajaran experiential learning, dikembangkan oleh David Kolb sekitar awal 1980-an. Model ini menekankan pada sebuah model pembelajaran yang holiostik dalam proses belajar. Dalam experiential learning, pengalaman mempunyai peran sentral dalam proses belajar. Penekanan inilah yang membedakan ELT dari teori-teori belajar lainnya. Istilah “experientrial” di sini untuk membedakan anatara teori belajar kognitif yang cenderung menekankan kognisi lebih daripada afektif. Dan teori belajar behavior yang menghilangkan peran pengalaman subjektif dalam proses belajar (Kolb dalam Baharudin dan Esa, 2007: 165).

Model Experiential Learning adalah suatu model proses belajar mengajar yang mengaktifkan pembelajar untuk membangun pengetahuan dan keterampilan melalui pengalamannya secara langsung. Dalam hal ini, experiential learning menggunakan pengalaman sebagai katalisator untuk menolong pembelajar mengembangkan kapasitas dan kemampuannya dalam proses pembelajaran

 

Karakteristik Teknik Experiential Learning

Menurut Kolb (1984) mengemukakan bahwa terdapat enam karakteristik dari experiential learning, yaitu :

1.      Learning is best conceived as a process, not in terms of outcomes. Belajar adalah sutatu proses bukan dalam hasil.

2.      Learning is a continuous process grounded in experience. Belajar merupakan proses yang berkesinambungan didasarkan pada pengalaman.

3.      The process of learning requires the resolution o conflicts between dialectically opposed modes of adaption to the world. Belajar memerlukan resolusi konflik antara gaya yang berlawanan secara dialektis.

4.      Learning is an holistic process of adaption to the world. Belajar adalah suatu proses yang holistik.

5.      Learning involves transactions betweem the person and the environment. Belajar melibatkan hubungan anatar seorang dan lingkungan.

6.      Learning is the process of creating knowledge. Belajar adalah proses tentang menciptakan pengetahuan.

 

Tujuan Teknik Experiential Learning

Baharudin dan Wahyuni (2012:165) menyatakan bahwa tujuan dari model experiential learning adalah  untuk mempengaruhi siswa dengan tiga cara, yaitu:

1.      Mengubah struktur kognitifnya.

2.      Mengubah sikap siswa.

3.      Memperluas keterampilan-keterampilan siswa yang telah ada.

Ketiga elemen tersebut saling berhubungan dan mempengaruhi secara keseluruhan, tidak terpisah-pisah, karean apabila salah satu elemen tidak ada, maka kedua elemen lainnya tidak efektif, model experiential learning memberi kesempatan kepada siswa untuk memutuskan pengalaman apa yang menjadi fokus mereka, keterampilan-keterampilan apa yang mereka ingin kembangkann dan bagaimana cara mereka membuat konsep dari pengalaman yang emrek alami tersebut. Hal ini berbeda dengan pendekatan belajar tradisional dimana siswa menjadi pendengar pasif dan hanya guru yang mengendalikan proses belajar tanpa melibatkan siswa.

 

Ciri Materi yang Dapat Disampaikan Melalui Teknik Experiential Learning

Model experiential learning dapat digunakan dalam mempelajari semua materi pelajaran. Model experiential learning mengedepankan model connected knowing (menghubungkan antara pengetahuan dan dunia nyata), dengan demikian pembelajaran dianggap sebagai bagian integral dari sebuah kehidupan. Model experiential learning adalah suatu bentuk kesengajaan yang tidak disengaja (unconsencious awareness). Contoh, ketika siswa dihadapkan pada game Spider Web atau jaring laba-laba. Tugas kelompok adalah menyeberang jaring yang lubangnya pas dengan badan kita, namun tidak ada satu orangpun yang boleh menyentuh jaring tersebut. Tugas yang diberikan tidak akan berhasil dilakukan secara individual karena sudah diciptakan untuk dikerjakan bersama. Untuk mencapai kerjasama yang baik, pasti akan timbul yang namanya komunikasi antar anggota kelompok. Lalu munculah secara alami orang yang berppotensi menadi seorang anggota inisiator, leader, komunikator, ataupun karakter-karakter lainnya.

 

Prosedur Pelaksanaan Teknik Experiential Learning

    Keterlibatan siswa dalam kegiatan eksperimen akan membuat individu memperoleh pengalaman langsung yang konkrit. Menurut Bruner, ketika siswa dilibatkan dalam kegiatan pengalaman eksperimen mereka akan mengembangkan kemampuan untuk pemecahan masalah yang ada. Siswa akan mengembangkan keterampilan observasi dan merefleksikan pengalaman yang diperolehnya. Setelah fase ini, siswa akan membentuk generalisasi dalam pikirannya yang kemudian menghasilkan sebuah implikasi yang menjadi pegangan dalam pengalaman baru.

Tahapan Experiential Learning yaitu:


1. Concrete Experience (CE)

Siswa baik secara individu, tim, atau organisasi hanya mengerjakan tugas yang mendrong untuk mengalami sendiri suatu fenomena yang akan dipelajari. Siswa berperan menjadi partisipan aktif. Fenomena ini dapat berangkat dari pengalaman yang pernah dialami sebelumnya baik formal ataupun informal, atau situasi yang bersifat real problematic sehingga mampu membangkitkan interest siswa untuk menyelidiki lebih jauh.


2. Reflective Observation (RO)

Siswa mereview apa yang telah dilakukan atau dipelajari. Keterampilan mendengarkan, memberikan perhatian atau tanggapan, menemukan perbedaan, dan menerapkan ide atau gagasan dapat membantu dalam memperoleh hasil refleksi. Siswa mengamati secara seksama aktivitas yang sedang dilakukan dengan menggunakan panca indra dan perasaan kemudian merefleksikan hasil yang didapatkan.


3. Abstract Conceptualiztion (AC)

Tahap ini merupakan tahap mind-on atau fase "think" dimana siswa mampu memberikan penjelasan sistematis terhadap suatu fenomena dengan memikirkan dan mencermati alasan hubungan timbal balik (reciprocal-causing) terhadap pengalaman (experience) yang diperoleh setelah melakukan observasi dan refleksi terhadap pengalaman pada fase concrete experience. Siswa mencoba mengkonseptualisasi suatu teori atau model terhadap pengalaman yang diobservasi dan mengintegrasikan pengalaman baru yang diperoleh dengan pengalaman sebelumnya (prior experience).


4. Active Experimentation (AE)

Pada tahap ini siswa mencoba merencanakan bagaimana menguji kemampuan suatu teori atau model untuk menjelaskan pengalaman baru yang diperolehnya. Proses belajar bermakna akan terjadi pada tahap ini. Pengalaman yang diperoleh siswa sebelumnya dapat diterapkan pada pengalaman baru dan atau situasi problematik yang baru. Pada tahap ini siswa akan melatih kemampuan berpikir kritis. Siswa mengetahui sejauh mana pemahaman yang telah dimiliki dalam memecahkan permasalahan-permasalahan yang terkait dengan pengalaman sehari-hari. Metode ini mampu menyediakan tahapan-tahapan pembelajaran yang menekankan pada terjadinya proses transformasi pengalaman yang berangkat dari pengalaman sehari-hari.

Komentar

Postingan Populer